Minggu, 05 Desember 2010

Lelaki Dan Rindu


Tempat ini kian gelap. Apakah sudah malam? Ah, tidak. Hari belum malam. Tapi, mengapa hitam demikian padu di depan mataku? Aku terus berjalan. Berlari. Anehnya aku masih merasa tetap di tempat.
“Doni, lupakanlah aku.” Tiba-tiba suara itu terdengar. Sayup, pelan sekali. Namun kupastikan aku bisa menerka siapa pemilik suara merdu itu.
Ela, kau Ela kan? Wahai kekasihku, di mana dirimu? Telah sekian lama aku menanti, telah sekian lama pula aku mencari. Kau tahu? Kerinduanku padamu telah menumpuk dalam gudang-gudang waktu. Belum sempat kukirim karena kau hilang begitu saja. Ela, kembalilah. Aku begitu ingin mendekapmu.”
“Sadarlah, Don. itu tak akan mungkin terjadi. Kita tak mungkin bisa bersama lagi.”
“Tapi mengapa, Ela? Mengapa? Apakah kau tak ingin kita kembali seperti dulu? Masih ingatkah, ketika matahari hampir terbenam, kita duduk di atas bebatuan. Menunggu kiriman gelombang dari laut, lalu kita membalasnya dengan sajak-sajak cinta. Menulisnya dengan kasih, dengan sayang. Tapi mengapa? Mengapa sekarang kau pergi? Kau pergi tanpa sepengetahuanku, Ela. Kau tinggalkan aku sendirian di sini. “
“Don, sudahlah.  Jangan kau ungkit masa lalu. Lupakan saja. “
“Apa? Lupakan? Setelah hidup seluruhnya kuabadikan untuk menjagamu, nafasku hembuskan untuk tetap bisa menyebut namamu, pun kisah-kisah hanya bercerita bagaimana diriku bertambat di hatimu. Tidak, Ela, aku tak bisa.”
“Don, apa kau tidak tahu, aku tak akan bisa lagi di sampingmu, menyambung kembali benang kenangan kita, menyulamnya jadi harapan, jadi impian yang kau katakan. Tidak, itu tak mungkin. “
“Ela, lama sudah kita tak bersua. Namun rasa rindu masih saja bergelora. Dan seperti dulu, masih seperti dulu, aku menulis penantian dalam kekecewaan yang telah jadi kanvas, tempatku menulis gundah, melukis resah, tempat mendiskusikan segala keluh-kesah, memperdebatkan tentang sebuah pertanyaan, mengapa kita berpisah?”
“Don, cukup! Jangan kau lanjutkan.”
“Ela, di mana kau? Tunjukkanlah wujudmu agar aku bisa melihatnya. Aku begitu ingin mendekapmu, Ela. Aku begitu merinduimu. Kembalilah, Ela, kembalilah!”
Aku terbangun. Rupanya hanya mimpi. Bajuku basah karena keringat. Mengapa Ela tiba-tiba hadir di mimpiku? Ah, malam ini terasa begitu panjang.
Aku keluar dari kamar. Mencari whisky. Perlahan tapi pasti, kureguk minuman haram jadah itu. Aku menikmatinya. Senikmat seorang lelaki yang sedang bersenggama, melepaskan nafsu, mengadu birahi dalam dinginnya malam bersama seorang perempuan yang amat dikasihi atau seorang perempuan simpanan kalau tak ingin katakan pelacur.
Sudah dua botol whisky kuhabiskan. Dalam keadaan setengah mabuk, aku berjalan tanpa tujuan. Badanku terhuyung-huyung. Aku tersungkur. Jatuh. Terlentang di atas lantai. Aku ingin bangun. Tapi tak bisa. Mataku berkunang-kunang. Samar-samar, aku melihat seorang perempuan. Ia berpakaian warna putih. Wajahnya cantik, memiliki sepasang sayap yang indah. Bak bidadari, senyumannya sangat menawan. Kugosok-gosokkan mataku, “Ela?”
“Ya, Don. Aku Ela.”
“Ela, benarkah kau itu?” Ela, mendekatlah, Aku ingin memegang wajahmu.”
Ku coba berdiri. Tak bisa. Kepalaku terasa berat. Aku terus menggapai-gapai selendang putih yang dikenakan Ela di lehernya, pun tak bisa. “Sudahlah, Don. Saatnya kau menyadari bahwa aku sudah pergi.”
“Tidak, Ela. Aku mohon. Apakah tak ada lagi cinta untukku? “
“Don, jika kau tanyakan cinta, ya, aku masih mencintaimu. Tapi itu tak bisa aku jadikan alasan untuk bisa kembali padamu.”
“Ela, aku rindu. Sentuhan sajakmu yang selalu membelai mimpi malamku. Senandung lagumu yang membuat sunyi cemburu pada penantian di hari-hariku, juga suaramu yang telah mengisi imaji hingga kehampaan tak pernah bisa bertandang di benakku. Tapi, Ela, setelah kepergianmu, dan pencarianku pun tak berujung pertemuan, penantian tak menampakkan harapan, membuatku kehilangan Ela. Aku kehilangan. Di laut kenangan kita, aku mati. Terkubur dalam cerita-cerita yang berujung pada perpisahan. Pahamilah Ela, aku pun semakin rapuh bersama rumah rindu yang terus dihujani air mata.”
“Don, simpanlah semua cerita kita. Jadikan ia larik-larik puisi dan janganlah kau mati di dalamnya. Tetaplah jiwamu bergelora segelora puisi yang kau tulis tentang kita. Juga di laut, tempat kita berkirim doa dan harap pada Tuhan. Jangan kau lupakan itu. Tuhan telah memberikan kita kata, kata itu yang telah melahirkan huruf-huruf cinta, di dalamnya telah berhikayat perjalanan kembara kita yang berhasil merangkum rintang, luka, kecewa, air mata dan sengsara jadi kehidupan, jadi sejarah, jadi kita.”
“Tapi Ela, aku ingin menjalaninya bersamamu.” Suaraku makin sayu. Mungkin akibat minuman alkohol tadi. Lalu antara sadar dan tidak, kulihat Ela mendekat. Ingin kugapai, tak sampai. Aku kewalahan.
“Don, percayalah. Aku selalu di sampingmu. Aku tak akan menikam kepiluan, keperihan, juga menusuk jantungmu dengan kelu hingga biru. Aku tak mau kegetiran menyuling cinta kita jadi riwayat kesedihan diceruk impianmu yang berdarah. “
Dengan lamat-lamat, suara Ela menjauh. Semakin hilang. Meninggalkanku dalam sunyi. Sendiri.

Sketsa Cinta Dan Bintang Kertas


Aku baru tahu sekarang, kenapa Joko selalu melamun setiap selesai mengerjakan PR di meja belajarnya. Aku sempat berpikir aneh-aneh tentang teman sekamarku itu. Tiada malam tanpa melamun, itulah semboyan dia sekarang. Setiap kali aku tanya, dia hanya menjawab “ini soal hati, men,” lalu melamun lagi.
Aku juga baru paham sekarang, kenapa Johan selalu terperangah setiap kali melihat ada perempuan yang lewat di depannya, mengibaskan wangi parfum ke batang hidungnya. Dia selalu terdiam selama beberapa menit menatap lurus pada wanita yang lewat di matanya, di pikirannya lalu di hatinya. Aku baru mengerti, kenapa mereka seperti itu. Penyebabnya tak lain yaitu karena: wanita adalah makhluk terindah. Dengan senyumnya, wanita mampu menaklukkan api, dengan tatapan matanya, wanita bisa mencairkan es di kutub utara. Dengan suara merdunya, wanita mampu menidurkan srigala, dengan kelembutan sentuhannya, wanita bisa menundukkan dunia.
* * *
“Hanif, bener si Neni belum punya cowok?” Aku bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Iya, Rangga, dia belum punya cow!.” Sudah sepuluh kali Hanif mengatakan hal yang sama. Aku masih juga tidak yakin. “Lalu, gimana dengan Rio? Kabarnya Neni ‘kan naksir abis sama Rio?” Aku memasang tampang cemberut, aku masih tidak percaya apa kata Hanif.
“Rio itu udah punya cewek di kampung, jadi dia gak akan mau sama Neni. Lagian, Neni itu ‘kan cewek tomboy. Hayooo… kamu suka sama dia ya?” Hanif menggelitik perutku.
“Eh, homo!!! Hahaha….” kami tertawa bersama. Tawa yang akan menyelinapkan duka di hatiku. Tawa yang akan mengantarkanku pada air mata pertama, yang jatuh karena wanita. Aku melanjutkan, “Emmm…suka sich gak, aku pengen tahu aja, Nif….”“Makanya, jangan makan rumus aja. Ini ke mana-mana bawa rumus gravitasi. Udahlah, bentar lagi masuk. Aku ke kelas dulu.” Hatiku lega mendengar apa yang barusan disampaikan Hanif. Aku Cuma bisa berdo’a, semoga saja dia benar.
Ya, aku merasakan sesuatu yang berubah. Waktu aku masih di kelas satu kemaren, aku hanya berkutat dengan buku dan pena, berkubang dengan tinta, bermandikan keringat dari raga yang selalu diperas untuk menyelesaikan persoalan Matematika. Sekarang, aku sudah kelas XI IPA 2 SMA, aku merasa hormonku berkembang. Aku sudah bisa melihat wanita. Dan wanita pertama yang membuat mataku buta adalah dia, Neni, cewek paling tomboy di sekolah. Aku merasa tida ada lagi wanita yang lebih cantik dari dia di dunia ini. Aku merasa tidak ada lagi senyum yang paling menawan selain hanya senyumnya.
Sejak kenaikan kelas kemaren, mataku tak pernah berhenti barang sedetik untuk menatap caranya berjalan, memandang caranya makan, mengamati caranya berbicara, meneliti caranya memperlakukan para pria. Ya, aku merasa mampu mengangkat gunung jika di bawah gunung itu ada cintanya, aku merasa mampu menguras habis air tujuh samudera jika di dalam samudera itu ada dirinya, diri wanita pujaanku, Neni Ayuningtiyas.
Sejak aku suka padanya, aku selalu mencari tempat duduk yang dekat dengannya, ada yang menarik hatiku untuk selalu berada di sisinya. Aku tidak tahu apa. Seperti pagi ini, aku duduk di depannya. Bangku pertama dari depan, dan dia di bangku tepat di belakangku. Dia sedang sibuk mencoret-coret kertas putih dibawah dagu yang berbentuk tampuk lebah, dia sedang menulis kata dengan jemarinya yang lentik bagai penari zapin. Sungguh anggun.
“Rangga, tolong bikinin aku tugas describing person, dong! Atau coba periksa punya aku, betul gak?” Dia menyodorkan lembar kerjanya padaku. Aku mengamatinya. Dia mendeskripsikan gaya liuk Ronaldinho menggiring bola. Dia memang maniak bola kaki. Dia hapal nama-nama pemain bola terkenal beserta profil mereka, apa posisinya dalam tim, berapa gol yang dicetaknya, dan lain sebagainya.
“Oke, aku mau men-translet-kannya ke Bahasa Inggris, tapi jangan pemain bola, Nen….” Aku menatap mata indahnya dengan bulu mata lentiknya. Rambutnya tergerai beberapa helai membingkai senyum di wajah manisnya. Dia sekilas seperti Ran Mouri, belahan jiwa Shinici Kudo, si Detektif Conan. Cantik, tomboy, dan tangguh.
“Ya, sini aku ubah dulu.” Dia meraih kertas itu dariku. Tak berselang beberapa menit, dia mencolek leherku dan memberikan kertas kerjanya lagi. Kali ini dia mendeskripsikan ibunya.
“Ibuku adalah wanita yang cantik, feminim dan pintar. Dia sangat baik dan paling rajin membersihkan rumah. Aku merasa minder jadi anaknya karena aku tidak secantik dirinya. Tapi, pada saat aku berumur 10 tahun, ibuku sakit dan dibawa ke Malaysia untuk berobat. Tapi, Tuhan terlalu sayang pada ibuku. Tuhan mengambil ibu dariku. Sejak itu, aku tidak punya ibu…”
Sampai di situ, aku tidak melanjutkan membaca, aku menoleh ke belakang. Aku disuguhkan bangku kosong. Neni sudah tidak ada di tempat duduknya. aku segera berlari keluar kelas.
“Bu Permisi!” Aku berlari sekencang mungkin melewati kelas demi kelas. Aku tahu, aku yakin, dia pasti sedang menangis. Aku langsung menerobos masuk ke toilet perempuan. Aku membabi buta. Aku buka ketiga pintu WC yang ada, untungnya tidak ada cewek di dalam. Kalau ada, sudahlah, namaku akan tercoreng, dari bintang sekolah menjadi seorang pengintip. Dia tidak ada. Lalu aku pergi ke samping WC, dia sedang duduk memeluk lutut dengan kepala ditenggelamkan ke dada. Aku hanya bisa berdiri di depannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku kembali berlari, kembali ke kelas. “Ada yang punya tissue?” Aku melihat Sheila mengeluarkan tissue dari tasnya. Aku segera merebutnya dan kembali ke samping toilet. Aku duduk di depan Neni, dengan tangan bergetar, kuusap kepalanya. Dia memandangku, air matanya berlinang deras menjalari setiap penjuru wajahnya nan ayu.
“Maafin aku, Nen.” Kataku lembut.
“Gak papa, kamu nggak salah, kok.” Dia masih terisak dalam tangis. Aku buka tissue itu dan menghapus air matanya. Dia menatap mataku. Tatapan matanya menjelajahi relung terdalam hatiku. Dadaku berdegup kencang. Didobrak oleh rasa yang aku tidak tahu namanya. Tiba-tiba dia merengkuhku dalam pelukannya. Erat, sangat erat, aku jadi susah bernafas.
“Nen, udah, jangan nangis. Aku jadi ikut sedih kalau kamu nangis…” Karena…”karena aku sayang kamu,” lanjutku dalam hati. Ternyata, karena itulah dia selama ini jadi cewek tomboy. Dia kurang kasih sayang dari ibunya, tapi di balik ketomboiannya, dia adalah wanita berhati lembut. Itulah yang membuat aku jatuh cinta padanya.
Sore, setelah pulang sekolah, dia menghampiriku, memberiku bintang kertas yang mungil dan lucu. Dia tersenyum padaku dan berterima kasih karena aku telah menghapus satu duka di hidupnya. Aku menyimpan bintang kertas itu baik-baik. Bintang kertas itu menjadi sketsa cintaku yang menjelma menjadi duka, setelah aku tahu, ternyata Neni pacaran sama Rio, Hanif telah membohongiku. Dalam gambaran indah hatiku, aku mengira Neni akan menjadi pacar pertamaku, ternyata tidak. Hatiku hancur seperti batu yang dihantam bom atom berkekuatan berjuta newton.
Dua tahun kemudian, saat hari kelulusan, aku kembalikan bintang kertas itu padanya. Cukuplah sketsa cinta bermuara derita itu menjadi pengisi salah satu lembar hidupku. Saat aku baru tahu bahwa wanita adalah makhluk terindah, justru saat itu pula cinta di hatiku punah.

Bukan Pilihan


“Kapan melamarku, Zul?” jemari Silvy bermain di atas lengan kananku. Ia duduk satu kursi bersamaku. Dua matanya tajam menatapku.
Cahaya meredup, matahari siap kembali ke peraduan. Awan membusung merah di barat, angin berhembus menggoyang daun pepohonan depan kost. Aku diam, menatap seorang ibu menyapu halaman rumahnya, terkadang ibu itu melirik anaknya yang bermain kelereng bersama teman-temannya, wajahku berpaling dari Silvy.
“Jawab, Zul!” Silvy menggoyang lenganku.
Sejenak kupejamkan kedua mataku, mengingat saat Silvy kuantarkan men-daftar di salah satu perguruan tinggi, mengenang dua bulan lalu aku mendampinginya wisuda, berpose dengan keluarganya, juga kami berpose bersama, ia tersenyum lebar saat lampu kilat menyambar.
Kubuka dua mataku, mencoba sadarkan diri. Aku masuk kuliah lebih dulu, tapi sampai sekarang aku masih betah berangkat ke kampus dengan tas di punggung. Entah, aku sendiri tak tahu sudah berapa tahun aku bertemu dosen di kelas, sudah berapa kali aku harus mengulang meteri-meteriku, bahkan aku tidak tahu sekarang semester berapa, mungkin sebelas, tapi kata Silvy tiga belas.
“Tunggu aku wisuda, Silvy,” suaraku berat menjawab.
“Kamu selalu berkata setelah wisuda, setelah wisuda. Tapi kamu sendiri tidak tahu kapan akan diwisuda!” Silvy sudah bosan. Ketika silvy masih kuliah, ia pernah memintaku untuk melamarnya. Permintaan itu semakin sering kudengar seiring ibunya bertanya tentang keseriusanku, tapi jawabanku sama, “setelah wisuda.”
“Pasti aku akan wisuda, Silvy,” kucoba tenangkan dia.
Wajahnya tampak mengkerut, ia benarkan duduknya, semakin menghimpitku, “Zul, wisuda memang selalu datang, tapi kalau kamu tidak pernah mengejarnya, tidak berusaha, sama saja,” hari ini Silvy yang sabar, ketus.
“Aku janji, aku pasti datang melamarmu,” aku rajut jemari halusnya sambil menatap untuk meyakinkannya, aku tak ingin dia pergi dariku.
“Janji, tak semudah itu berjanji, tapi tidak bisa kau tepati. Utangmu sudah banyak, Zul,” Silvy kesal, ia mengibas tanganku lalu pergi meninggalkanku terpaku di atas kursi, kerudungnya melambai dengan jalan setengah berlari terpacu emosi. Aku berdiri ingin memanggilnya kembali tapi ia tak mungkin mendengar, telinganya tak lagi terbuka. Silvy sudah hapal semua kata dariku, ia bosan, ia tak lagi butuh romantis-romantisan, tanganku menggantung, mulutku yang menganga kututup kembali.
“Fuh…” kusandarkan tubuhku di tiang kayu, kepalaku tertunduk lesu, jemariku mengurai rambut, lidahku terasa membeku.
Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku tidak menyadari umurku semakin berkurang, dua puluh lima, waktu yang tepat untuk bersanding di pelaminan, bukan memeluk bantal, memegang obeng memoles sepeda motorku, tapi aku…ah…aku…kupijat keningku.
***
Akhir pekan aku pulang ke rumah, Air Tiris. Ayahku sakit, jalannya sudah bungkuk, sedangkan tongkat tak lagi bisa membantu, ibu memapahnya ke kamar mandi, ayah tertatih-tatih berjalan, makan harus disuapi, nafasnya berat, tulang di tangan tampak ke permukaan, otot sisa kejantanan menyembul. Ayah lebih sering terbaring di ranjang menatap atap.
Kusibak tirai kamar, kulihat mata ayah terpejam, dadanya turun naik, sebagian tubuhnya tertutup selimut. Aku duduk di sampingnya, kugenggam tangan ayah setelah menciumnya, mataku berkaca menatap wajah ayah yang teronggok layu di atas bantal, semakin lama mataku melihat ayah semakin banyak doa yang berkelebat di bibir.
Ibu sedang menjahit, aku ambil posisi duduk sebelahnya di ruang  tamu, “Bu….”
“Apa?” ibu membenarkan kacamatanya.
“Zulhamdi mau melamar Silvy, bu,” aku jujur.
Seketika itu ibu berhenti meneruskan jahitannya, ”Kamu belum selesai,  Zul, dan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan.”
“Zul sudah berpikir berkali-kali,” aku melihat anak kecil bermain sepeda dari lubang jendela.
Ibu melepas kacamatanya, menatapku dalam-dalam, “Tanyakan pada ayahmu.”
Aku diam, kusandarkan tubuhku sembari kuusap wajah.
“Ukh…ukh…ukh…” suara batuk menyeruak, aku berlari ke kamar ayah sebelum ibu berdiri.
“Yah,” seketika kulihat ayah terbangun dari tidurnya. Segelas air putih kuberikan padanya.
Ayah menyeret tubuh, ia ingin duduk, kusiapkan bantal belakang punggungnya, ayah langsung menghabiskan segelas kecil air putih.
“Sudah lama, Zul?” suara ayah serak.
“Zulhamdi baru datang, yah,” kuletakkan gelas di atas meja kecil.
Ayah menghirup nafas, tangannya menarik selimut, “Bagaimana kuliahmu, Zul?”
Kalimat itu selalu menyapa seperti salam, namun matanya tak pernah melihatku, ayah sudah bosan dan aku hanya bisa diam.
Sekilas kupandangi guratan kecewa di wajahnya, “Zul ingin melamar Silvy, yah,” aku beranikan diri.
Ayah tak terkejut, matanya lurus menatap bias ke jemari kakinya. sejenak ayah menunduk, “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk kembali terdengar, “Ayah tidak melarangmu, tapi sisa umur ayah hanya untuk menunggu kamu lulus S1.”
Ayah menoleh ke arahku, “Ayah sudah puas dengan tiga cucu dari kakakmu, sudah bahagia mendapat dua menantu, tapi semua itu tak berarti jika kamu belum lulus, Zul. Jangan buat ayah selalu datang dalam mimpimu menanyakan kelulusanmu.”
Hatiku bergetar mendengar suara serak ayah.
“Zul, kesempurnaan kebahagiaan orang tua ada pada anaknya.”
Mulutku terkunci, semua keinginanku pudar, semua kata ayah merasuk mengisi setiap relung dalam ragaku, sekujur tubuhku merenung.
***
Aku berjalan di antara rak buku perpustakaan, langkahku merambat pelan mengikuti mataku yang menelisik setiap judul, kadang aku berhenti, menarik buku ke luar dari barisannya, tapi tak jarang kukembalikan. Beberapa hari ini aku terjebak di sini.
“Zulhamdi, Silvy datang,” salah satu temanku memberi tahu.
Kututup buku, kuletakkan di meja paling pojok, setengah berlari aku ke luar, demi Silvy kucoba menjadi lelaki yang sempurna.
Kuhampiri Silvy, ia duduk di kursi panjang bawah pohon sawit depan gedung perkuliahan, aku duduk di sampingnya, “Sudah lama, Silvy?”
Silvy menggelang, “Gimana, Zul? ibuku selalu bertanya. Kamu tahu sendirilah, Zul, bagaimana orang tuaku.”
Seketika teringat setiap kata dari ayahku, tubuhnya, suara batuknya, bagaimana ia terbaring. Kutatap mata Silvy, kulihat ia berharap aku menjawab, “Tunggu aku, Silv.”
“Bosan aku mendengarnya, Zul,” wajah silvy berpaling dariku.

Aku Menangis Dikuburanmu


Suara kicau burung mulai membangunkan Khairul di pagi dingin di hari minggu. Setelah mencuci mukanya dengan air sejuk kemudian ia membuat secangkir kopi hangat untuk menemaninya membaca harian pagi edisi minggu. Seperti biasa ia selalu mencari beberapa pekerjaan di kolom lowongan kerja. Khairul yang akrab dipanggil Irul ini tidak memiliki pekerjaan tetap, dia hanya seorang penulis kecil untuk harian pagi. Ketika ia memiliki atau membuat sebuah tulisan yang bagus maka akan ia kirimkan ke redaksi harian pagi itu dan mendapatkan upah yang sesuai dengan karyanya.
Pada malam minggu terkadang Irul mengunjungi pacarnya Imel yang tinggal di Perumahan Karyawan yang tidak jauh dari rumahnya. Imel memang termasuk keluarga yang berada, berbeda dengan Irul yang hidup dalam kesederhanaan. Namun orang tua Imel tidak melarang hubungan mereka. Meski dari keluarga yang berada, tapi Imel tidak memilih-milih teman. Karena itu Khairul sangat menyayanginya dan rela melakukan apa saja agar pacarnya tersebut bahagia.
Malam hari tiba, waktunya untuk makan malam bersama antara mereka berdua. Namun saat makan malam berlangsung, hidung Imel mengeluarkan tetesan darah kental. Saat itu Irul khawatir namun Imel hanya bilang kalau itu mimisan biasa. Mendengar itu kekhawatiran Irul berkurang. Suatu minggu pagi mereka berjalan di taman kota namun tiba-tiba Imel jatuh pingsan, saat itu ia langsung dibawa Irul ke rumah sakit terdekat. Setelah diperiksa oleh Dokter yang bersangkutan Imel divonis menderita kanker otak. Hal itu diberitahukan oleh Dokter ke Imel. dan dikatakan bahwa umurnya tidak akan lama lagi. “Dok, saya harap dokter tidak memberitahukan hal ini pada pacar saya yang sedang menunggu di depan. Karena saya tidak ingin dia bersedih,” pinta Imel pada Dokter tersebut.
Setelah Dokter keluar dari ruangan, “Gimana, dok, keadaan pacar saya?” tanya Irul.
“O…anda tenang saja. Pacar anda baik-baik saja. Hanya terkena anemia atau kekurangan darah. Makanya dia sering letih dan pingsan,” jawaban Dokter pada Irul.
“Lalu, bagaimana, dok?” tanya Irul lagi penasaran.
“Hm… tolong biarkan dia istirahat untuk beberapa hari ini dan jangan diganggu dulu ya…” saran Dokter pada Irul lalu masuk ke dalam ruangan.
Dokter meminta agar Imel tabah dan sabar serta banyak berdoa agar datang suatu keajaiban nanti dan segera diminta memberitahukan kepada kedua orang tuanya tentang penyakit yang sedang di deritanya tersebut. Dan juga untuk tidak berhenti berobat ke spesialis-spesialis kanker otak.
Akhirnya Irul mengantar Imel pulang kerumahnya dengan sepeda motor. Sampai di depan teras, Imel mengucapkan selamat malam pada Irul dan berpesan agar hati-hati di jalan, begitu pula dengan Irul yang berpesan agar Imel banyak beristirahat.
Pada Malam harinya setelah selesai makan malam bersama keluarga, Imel menceritakan yang terjadi terhadap dirinya kepada kedua orang-tuanya. Imel merupakan anak satu-satunya di keluarga tersebut, jadi wajar ia sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Mendengar apa yang disampaikan oleh anaknya tersebut kedua orang tuanya sangat sedih dan khawatir, dan segera berusaha bagaimana agar anaknya bisa cepat sembuh.
Sudah seminggu sejak pengobatan Imel yang tidak diketahui oleh Khairul. Bahkan ketika Irul menelpon untuk menanyakan keadaannya, pasti tidak pernah diangkat.  Sms dari Irul tidak pernah dibalas. Sampai suatu hari Imel menelpon Khairul untuk datang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah Imel, Khairul dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Orang tua Imel memperhatikan dari atas tangga. Imel juga pernah berpesan pada orang tuanya untuk tidak memberitahukan penyakit yang dideritanya kepada Khairul sampai kapanpun.
Dengan wajah mulai pucat Imel meminta Khairul untuk mendengarkan ucapannya dengan serius. “Rul, aku minta kamu jauhi aku mulai saat ini…” pintanya dengan nada sedih.
“Kenapa,,,?” tanya khairul penasaran.
“Aku mau kuliah ke luar negeri. Orang tuaku ingin aku hidup dengan orang yang sukses. Aku harap kamu bisa berusaha keras dan kembali padaku dengan kesuksesan yang kamu raih…”
Mendengar hal itu Khairul merasa terpukul dengan keadaan dirinya. Setelah Irul pulang maka Imel menangis di dalam kamar dan orang tuanya ikut sedih melihat yang terjadi pada anaknya.
Setibanya di rumah, Irul selalu murung dan memikirkan ucapan-ucapan yang telah didengarnya dari Imel. Itu menjadi sebuah penyemangatnya setelah pisah dari Imel. Ia bertekad untuk berusaha dan menjadi orang yang sukses, setelah itu ia akan kembali untuk membuktikan pada orang tua Imel, kalau ia mampu untuk menjadi orang yang sukses.
Hampir setiap hari ia mencari pekerjaan, kebetulan Harian Pagi yang sering ia kirimi tulisan sedang mencari orang untuk menjadi wartawan tetap. Dimulainya karir menjadi seorang wartawan, karena kerjanya yang gigih dan memuaskan kemudian Irul diangkat menjadi pe-mimpin redaksi yang mengelola harian pagi tersebut. Namun ketertarikannya terhadap menulis tidak pudar, ia mulai membuat novel tentang kisah hidupnya yang ia angkat menjadi cerita yang menarik. Novel yang ia buat laku keras dan terkenal di seluruh nusantara bahkan sampai ke Malaysia. Novel tersebut juga sempat dibaca oleh Imel, ia senang Khairul sudah mulai sukses. Kini Irul tidak lagi bekerja di harian pagi seperti biasa, kini dia telah menjadi penulis terkenal dan kaya raya. Namun, apa yang telah ia raih kini tidak membuatnya lupa dari mana asalnya. Dia tidak sombong dan selalu membantu orang-orang yang kesusahan.
Pada hari minggu, seperti biasa Khairul pergi untuk berlibur pulang ke rumahnya di kampung, namun cuaca agak sedikit mendung, namun tak menjadi halangan karena ia membawa mobil. Ketika mobilnya lewat di depan rumah Imel, ia hanya mendapati rumah tersebut sudah disegel dan tak berpenghuni lagi. Kebetulan rumah lama Khairul berada di sekitar pemakaman umum, ia melihat kedua orang tua Imel berjalan kaki dengan baju yang kusam dan membawa sekeranjang bunga. Ia tidak membalas apa yang pernah dikatakan Imel dulu padanya. Ia bertanya mau ke mana kedua orang tua tersebut. Karena merasa kasihan pada Khairul kedua orang tua Imel pun melupakan janji mereka untuk tidak mengatakan keadaan anaknya yang sebenarnya.
Orangtua Imel bercerita bahwa Imel terkena kanker otak, dan sebenarnya ia tidak pergi kuliah keluar negeri tetapi untuk pergi berobat. Dia tidak ingin membuat Khairul sedih dan dia berpesan agar Khairul tetap semangat dan ia senang atas kesuksesan yang telah Khairul raih.
“Kami telah berusaha untuk kesembuhannya, seluruh harta kami jual agar anak kami bisa sembuh, tapi Tuhan berkehendak lain,” ucap orangtua Imel dengan sedih.
Setelah mendengar apa yang telah disampaikan orang tua tersebut, Irul jatuh lemas terdiam. Sejenak ia membayangkan wajah Imel tersenyum padanya, terbayang pula segala kisah yang pernah mereka lalui bersama. Kemudian Khairul meminta orang tua Imel untuk mengantarkannya ke kuburan Imel.
Di sana segunduk tanah dan batu nisan bertuliskan nama Imelda Melani. Khairul menatap foto yang ada di kuburan tersebut, foto yang tersenyum padanya. Meninggalkan kisah kasih yang pilu, membuat air mata Khairul jatuh untuk ke sekian kalinya, menangisi kepergian kekasih yang sangat ia cintai.

Jumat, 03 Desember 2010

Senyuman Terindah Dan Terakhir


Syla amila, itulah nama sahabat yang selalu hadir dalam kehidupanku. Aku sangat mengenal Syla, dialah sosok jiwa yang kukagumi. Ia selalu tegar menghadapi cobaan yang menerpanya. Se-nyumannya yang indah selalu bisa meluluhkan hatiku saat aku sedang menasehatinya. Nilai rapornya tidak pernah merah, dan dialah seorang yang dianugerahi kecerdasan oleh Al-Wahhab.
Namun, waktu untukku dapat menemuinya dalam keadaan sadar semakin berkurang. Penyakit berbahaya yang telah bertahun-tahun menyerangnya, membuat Syla lebih sering berada di ruang yang penuh dengan aroma obat-obatan dan Syla tidak lagi melakukan aktivitas yang biasa dilakukan anak seusiaku. Penyakit yang dialami Syla juga pernah dirasakan ibunya, yang telah lama berpulang ke rahmatullah.
Setelah beranjak pergi dari bangunan tempat proses pembelajaran, biasanya aku pulang bersama sahabatku, Syla, sekarang aku hanya sendiri menyusuri jalanan sepi.
Aku pulang ke rumah, mengganti baju, dan segera menuju ke supermarket, untuk membeli buah-buahan. “Cio…” terdengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Saat aku berbalik, terlihat sesosok pria tinggi, berumur sekitar lima puluhan.
“Ehh… Om Anton, beli buah juga ya? Gimana keadaan Syla, apa dia udah sadar?” tanyaku bertubi-tubi.
“Iya, Oom beli buah juga untuk Syla. Alhamdullillah sekarang Syla udah sadar. Cio mau menjenguk Syla, ya?” jawab Om Anton sambil bertanya balik.
“Iya, Om.”
“Kalau gitu, bareng om aja. Oom juga mau ke rumah sakit,” tawar Om Anton.
“Iya Om, Cio ikut sama Om Anton.” jawabku.
Sebelum menuju ke rumah sakit, aku dan Om Anton menuju ke sebuah toko bunga hidup. Aku memilih tiga batang bunga anggrek putih, dan Om Anton memilih serangkaian bunga anggrek merah muda. Setelah membayar bunga yang dipilih, kami langsung menuju ke rumah sakit.
“Syla…” kataku sembari mendekapnya penuh kerinduan. Kesepianku terobati, bibirku yang tadinya datar karena nilai ulanganku yang di bawah standar, menjadi sebuah lengkungan atau tepatnya menjadi sebuah senyuman.
“Syl… kamu cepat sembuh ya. Aku rindu saat-saat bersama kamu beberapa tahun lalu. Sepi. Itulah yang aku rasakan selama ini, Syl…” kataku usai mendekapnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kamu gak usah khawatir aku pasti sembuh, ya, kan, Pa?” jawabnya sambil tersenyum ramah, lalu menoleh kearah ayahnya.
Om Anton hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan anak semata wayangnya itu. Om Anton selalu terlihat sedih jika ia menatap Syla. Walaupun Syla berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal yang sebenarnya selalu  menyiksanya.
Hari berganti hari. Keadaan Syla seakan tak dapat diselamatkan. Darah yang keluar dari hidungnya semakin sering dan semakin banyak keluar dengan sia-sia. Hatiku makin perih, apalagi Om Anton, ia takut kehilangan gadis kecilnya yang akan genap berusia empat belas tahun.
***
Seperti biasanya, hari ini pun aku akan pergi ke rumah sakit. Huh… siang ini sang mentari bersinar dengan sesukanya, sepertinya ia tega membakar kulit makhluk hidup yang hanya berpayungkan langit.
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Syla seperti makhluk yang tak berdaya, hidung, mulut, dan telinganya mengeluarkan darah yang tak hentinya mengalir. Dokter,dan perawat berusaha menghentikan darah yang mengalir. Hatiku getir. Tak kuasaku menahan tangisan ini, begitu juga dengan Om Anton yang tak hentinya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Bibir Syla sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi sulit baginya untuk menggerakkannya, hanya menangis yang dapat Syla lakukan. Setelah itu kulihat senyuman terindah dari bibirnya.
Tak lama hal itu berlangsung, nafas, serta detak jantung Syla berhenti. Tuhan sudah berkehendak. Hal yang paling ditakuti Om Anton akhirnya terjadi. Langit yang berwarna cerah berubah kelabu, tetesan kristal berjatuhan dari langit.
“Sylaaaa…” teriakku berbarengan de-ngan guntur yang seakan ikut bersedih bersamaku, dan Om Anton. Syla telah menyusul ibunya. “Syla… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.
***
Sabtu, empat belas Februari. Aku pergi ke toko bunga hidup, kali ini aku membeli serangkaian bunga anggrek. Lalu pergi ke TPU untuk berziarah ke makam sahabatku, Syla. Tidak sulit bagiku untuk mencari makam Syla, hanya beberapa meter dari gerbang TPU. Dari gerbang kulihat seseorang berada berada di makam Syla. Kuperhatikan orang itu. Beberapa saat kemudian, ia berdiri dan beranjak dari makam Syla.
Akupun melanjutkan perjalananku menuju makam Syla. Saat berpapasan ternyata orang itu adalah Om Anton. Ia menyapaku dan tersenyum, lalu ia bilang padaku bahwa Syla ada di sini. Aku terkejut, mungkin Om Anton hanya  bercanda. Aku hanya tersenyum, dan berjalan menuju makam Syla.
Kuletakkan serangkaian bunga anggrek yang kubeli tadi di atas makam Syla. Aku mengucapkan selamat ulang tahun dan selamat hari kasih sayang pada Syla. Dan aku pandangi batu nisan tempat nama sahabatku diabadikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan di depanku atau lebih tepatnya seseorang. Wajahnya mirip dengan sahabatku, ia tersenyum padaku. Senyuman itu mengingatkanku pada senyuman terakhir Syla. Kubalas senyum itu, seketika ia menghilang.
Mungkinkah itu Syla….?

Persahabatan Hancur Cuma Karena Cowok


Sekarang aku sudah di SMK dan akupun mempunyai teman baru. Tapi semua teman aku tidak   satupun yang bisa jadi teman dekatku. Sesudah tiga bulan, aku di sekolah itu akhirnya akupun memiliki teman yang aku percaya  dan aku anggap dia sebagai teman curhat. Dan aku pun percaya sama dia.
Sebelumnya kami sama-sama tidak punya cowok alias kami jomblo.
Persahabatan aku sama dia (teman dekat aku namanya Yana) sangat akrab. Dia sering curhat tentang keluarganya ama aku. Begitu juga dengan aku. Kami sama-sama mengetahui tentang keluarga kami berdua. Aku dan Yana pun berjanji tidak akan pernah membocorkan rahasia kami berdua. Karena kami sudah berjanji. Apabila kami berantam, kami tetap tidak akan membongkar rahasianya.
Setelah tiga  bulan kami jalani persahabatan kami, aku dan Yana mulai dekat ama cowok yang kami suka. Aku punya teman cowok dia punya teman cowok juga. Kami sama-sama dekat ama cowok. Tapi aku tidak pengen mau pacaran, aku ngerasa aku tuh masih kecil. Tapi teman aku ini mulai dekat ama seseorang, dia pun cerita samaku tentang cowok. Dia bilang “Aku punya teman, dia orangnya putih, ganteng, trus motornya mio” Yana cerita kayak gitu ama aku. Aku pun ngerasa gimana ya nanti sesudah punya cowok. Apakah aku ama Yana pisah alias berantam?
Tapi setelah aku pikir kayak gitu, aku pun tidak mau dekat ama cowok. Biarlah aku dekat ama teman aku sendiri. Walaupun Yana udah punya cowok, yang penting persabatan aku ama Yana tidak hancur. Karena aku ngerasa Yana tu paling baik dan ngertiin aku, waktu aku sedih dia selalu ada maupun senang, begitu juga dengan Yana.
Tapi waktu Yana punya cowok, semua orang benci ama dia. Soalnya yana tu ngambil cowok orang, Kata orang-orang. Tapi aku tidak tau benar, soalnya semenjak Yana dekat ama cowoknya tu baek yang jelas cowoknya tu dibanggakan trus. Tapi pada suatu hari, rupanya cowok Yana tu orangnya matre suka mlorotin orang. Mulai dari situ persahabatan aku ama Yana mulai renggang, alias berantakan. Aku ama dia sering berantam. Tapi walaupun Yana punya cowok. Aku tetap berada disampingnya. Aku selalu ngerasa apa yang dirasakan Yana. Yana senang, akupun ikut senang.
Lama-kelamaan dia pacaran akhirnya dia putus juga. Dan persahabatan kami makin dekat. Kata Yana “Aku nyesal punya cowok, cowok itu biadap, pengecut, nggak ngerti perasaan cewek. Itulah terucap dari mulut Yana sendiri (teman dekat aku sendiri), tapi aku hanya bisa bilang sabar aja. Karena aku tak bisa ngelakukan apa-apa. Tapi di dalam permusuhan itu aku dan yana akhirnya tambah dekat. Aku sangat senang dapat teman seperti Yana. Walaupun Yana sedikit cerewet dan menyebalkan, tapi aku senang.
Hari demi hari berlanjut. Akhirnya kami sudah sampai kesemester 2 kelas satu. Kami sangat senang bisa ujian dan lumayan nilai kami bagus. Tapi didalam semester ini banyak cobaan yang kami hadapi. Akupun sudah punya cowok, begitu juga dengan dia. Tapi kami selalu cerita tentang semua yang kami jalani. Tapi aku ama yana tidak terlalu dekat lagi. Karena kami punya masalah sendiri.
Sebenarnya aku senang punya cowok. Tapi kadang buat kita sakit hati. Akupun pacaran bukan karena suka sama cowok ini. Tapi karena aku cumin pengen coba-coba. Karena dialah pacar pertama aku. Lama sudah pacaran sama dia, akupun merasa tidak ada guna aku pacaran, malah merugikan diri aku sendiri. Akhirnya akupun mutusin dia melalui hp. Tapi katanya dia tak terima aku putusin. Akupun tambah pusing. Aku cerita sama teman aku dikelas malah semua orang tu nyalahin aku. Aku tambah sedih tapi Yana selalu ada di samping aku, yang selalu mendukung aku. Akupun merasa senang sekali karena Yana masih mau belain aku walaupun aku salah.
Tapi aku merasa tidak senang kalau yang di samping aku. Karena Yana sudah terlalu baik. Dia selalu membantu aku kalau aku susah. Padahal aku tak pernah baik sama dia. Aku ngerasa selalu jahat sama dia. Tapi persahabatan aku sama Yana makin dekat lagi. Aku sama Yana kadang berteman, berantem menjauh juga pernah. Kami lucu ya……..ha…..ha……..
Sebentar lagi kami mau ujian, kami harus belajar serius, soalnya ini ujian kenaikan kelas. Tapi aku sama Yana tak pernah belajar dengan serius. Kami sering nyontek ama teman. Yang jelas kami berdua dibilang mada. Guru-guru juga udah tau kalau kami berdua tu bandel, bukan hanya guru aja yang tau kebandelan kami, tapi malah semua teman sekelas kami banyak yang benci sama kami berdua. “Katanya kami orangnya cerewet trus sok bagak” mungkin orang tu ngomong kayak gitu. Tapi kami berdua nggak merasa bandel.
Akhirnya kami semua satu sekolah sudah selesai ujian. Kata guru kami ngambil rapor. Sesudah selesai seminggu ujian kami akan mengambil rapor. Kami pun merasa gimana gitu. Kami sekelas ketakutan “takut tinggal kelas. He…..he……he…… akhirnya kami ngumpul di kelas. Dan menyebutkan siapa-siapa yang dapat juara. Aku ama Yana senang bila dapat ranking. Tapi aku merasa tak pantas dapat rangking. Karena kamikan mada/bandel. Tapi kami senang, akhirnya kami naik kelas…………….
Sekarang kami sudah duduk di kelas 2. kebahagiaan yang ada waktu kelas satu. Sudah tidak ada lagi. Semuanya sudah hancur. Semenjak Yana pacaran sama anak kelas satu, semua teman-teman aku nuduh aku ngambil cowoknya pa sih……benar “aku dekat sama pacar Yana yang kelas satu tu. Tapi  cuma sebagai teman itu aja kok. Nggak lebih. Tapi malah orang tu nuduh aku yang aneh-aneh. Padahal cowok Yana ni yang kelas satu tu cuma mau hanya Yana, ama aku. Dia bilang Yana tu suka apa” trus aku bilang Tanya sendiri aja ama dia. Tapi dia tak mau nanya ama Yana. Mungkin Yana nggak tau Dede sering ke rumah aku cuma mau nanyain Yana. Sangking Dede sayang ama Yana, dia ngelakukan apa aja. Bahkan dimata guru Dede ni orangnya bandel (cowok Yana, Dede). Biarlah Dede bandel yang penting Yana sayang ama Dede” katanya. “Bahkan Dede pernah diskor hanya karena Yana. Tapi Yana nggak tau berapa besar pengorbanan Dede untuk dia. Sampai-sampai dia nuduh aku selingkuh ama Dede, Temannya sendiri. Aku ngerasa nggak ada yang percaya ama aku. Yana ulang tahun bulan Agustus. Aku sama Dede pun mau rencanain beli kue untuk Yana. Dede pun datang ke rumah aku. Dia bilang, ‘’Ka’bantu Dede buat surprise untuk Yana,’’ Kata Dede sama aku. Baru Dede ngomong kayak gitu, tiba-tiba teman aku juga datang, aku pun bingung mau ngomong sama siapa, aku ajak bicara ja kami bertiga. Kami bercanda-canda, ketawa-ketawa. Akhirnya Dede ama aku nggak jadi buat rencana tuk ultah Yana.
Besoknya, dia pun ngomong di skul, pas di dalam kelas trus Yana ada disamping aku. Dia pun cerita waktu dia ke rumah aku terus dia juga bilang “Dede juga datang kerumah. Yana pun tambah curiga. Yana marah-marah  amaku  dibilang “Ria, ngapa nggak cerita amaku Dede datang ke rumah Ria. Aku cuma bilang, Dede ngajak aku ke rumah Yana, tapi aku tak bisa. Cuman itu alasan aku ama Yana. Yana pun nggak percaya amaku.
Ultah Yana tinggal tiga hari lagi. Tapi rencananya belum dibuat ama Dede. Jadi aku ngerasa, “Kayaknya Dede ne tak jadi beli kuenya, soalnya Dede nggak ada ngomong amaku. Rupanya Dede sama Yana lagi berantam, tanpa sepengetahuan aku. Walaupun orang tu berantem, aku tetap mau buat  kejutan buat Yana. Dengan duit yang aku sisihkan, aku tetap mau beli kue untuk Yana. Pas dua hari lagi, hari ultah Yana aku udah siap-siap mau beli kuenya. Tapi waktu di skul Yana marah-marah ama aku. Dia bilang, “Ini semua gara-gara Ria. Aku berantam ama Dede”. Jadi akupun ngomong, kok aku yang disalahin, aku kan tak ada pacaran ama dia. Aku cuman bisa bilang gitu, dan hanya terdiam.
Aku jadinya putus asa buat rencana untuk ultah Yana ini. Aku malas, aku benci ama dia, jadinya aku ngerasa bersalah. Aku nyesal dekat ama Dede. Tapi semuanya udah berlalu. Aku cuman bisa diam dan tak mau beli kue untuk Yana lagi. Karena aku sakit hati. Pada malam harinya akupun belajar di meja kamarku, aku belajar sambil melihat kalender yang aku tandai (pas besok tanggal 25 hari senin ultah Yana) setelah ku pikir-pikir “aku beli kuenya tau nggak” tapi aku masih sakit hati ama dia aku nggak terima dia nuduh aku kayak gitu. Dia nuduh sama temannya sendiri ngerebut cowoknya. Sudah satu tahun aku berteman ama dia. Dia udah kenal samaku begitu juga aku udah kenal ama dia. Akhirnya aku nggak jadi beli kuenya.
Besok harinya :
Tanggal 25 Agustus Yana Ultah.
Akupun nggak ada ngucapin apa-apa ama dia. Pas kami semua uda di kelas, akupun duduk disampingnya. Tapi aku diam aja. Tak ada ngomong apa-apa. Tapi semua teman sekelas aku udah ngucapin met ultah ma dia. Setelah kupikir-pikir kita tu harus saling memaafkan akhirnya aku minta maaf ama dia dan ngucapin met ultah tanpa ngasih apa-apa.
Pas kami keluar main dia pun curhat ama aku. Dia bilang samaku, “Aku sama Dede sudah putus”. Aku hanya terdiam. Aku tak mau ikut campur lagi urusan mereka berdua. Tapi walaupun mereka berantam, akan tetap berteman sama Dede. Begitu juga dengan Yana tapi tidak terlalu dekat.
Sesudah Yana putus ama Dede. Tak henti-hentinya masalah datang menimpa aku. Aku pun masalah sama cowok aku. Aku mutusin dia karena aku ngerasa aku tak ada teman. Tapi dia tak mau putus samaku. Tapi aku tetap mau sendiri tanpa dekat ama cowok. Tapi semua orang benci samaku termasuk teman-teman aku, tetanggaku yang jelas semua teman-teman aku. Aku cuman pengen bisa dekat lagi sama Yana (yaitu teman dekat aku sendiri yang nuduh aku pacaran ama cowoknya).
Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan membuka pintu hati Yana, begitu juga dengan aku agar aku sama dia bisa berteman kembali agar persahabatan kami lebih dekat lagi. Aku juga minta doa yang telah membaca cerita ini. Dan aku mengucapkan terima kasih banyak bagi yang membaca kisah hidup persahabatan aku. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak.
Saya berterima kasih kepada kru yang bertugas dan membuat iklannya. Sehingga saya yang bernama Ria bisa membagi cerita ini kepada siapapun yang membacanya. Saya pun berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan kecerdasan kepadaku.
Sayapun meminta kepada orang yang membaca agar memberi komentar kepada saya, gimana cara aku sama sahabat aku sendiri, bisa dekat lagi. Serta kami bisa ngumpul lagi. Dan apabila ada yang mau berkomentar, SMS aja yang ke nomor ini 0852 6553 3356. Terima kasih.

Satu Waktu Tiga Hati


Sisa-sisa hujan belum juga reda. Aku mengulurkan tangan melewati cucuran atap. Membiarkan rintik-rintik hujan berebut singgah di telapak tangan. Hiruk pikuk asap dari secangkir capucino tersaji di atas meja lesehan. Aku memalingkan pandangan. Lalu menatap Jumi.
“Aku mengatakannya karena aku tidak mampu lagi untuk menahannya. Semakin sakit jika harus terus dipendam. Terlalu cepat, Fik?” suara Jumi bergetar. Persis seperti getar-getar cinta yang saat ini memenuhi seluruh nadinya. Jumi menatapku, mengharapkan jawaban. Jawaban dari akhir ceritanya di lesehan ini. Seteguk capucino menghangatkan tenggorokanku. Aku menggelengkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku. Berharap Jumi puas dengan jawabanku. Ia sedikit terhibur.
Lama-lama lesehan ini ramai dikunjungi orang. Dua jam sudah kami di sini. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku lihat di layarnya. Tertera nama Gugun. Tanganku sedikit gemetar. Sebentar aku melihat Jumi. Gejolak rasa bersalah menguliti tubuhku. Lebih-lebih ketika Jumi mengutarakan seluruh perasaannya tentang Gugun kepadaku.  Gugun masih terus memanggil. Sedikit gugup, aku sedikit menjauh dari Jumi. Berusaha agar ia tidak mendengar semua perbincanganku dengan Gugun. “Jum! Tunggu sebentar, yach! Dari kakak!” kataku pada Jumi sambil meninggalkannya. Tentunya ia percaya dengan kebohonganku.
“Halo Gun!” sedikit ketakutan, aku mengecilkan suara.
“Fika! Tugas Metode Penelitian sudah siap? Aku kurang paham. Tolong ajarkan, Fik!”
“A..a…ku?” tanyaku gugup
‘Ia! Please!” jawabnya dengan penuh harap
“T…ta…ta…pi, aku rasa Gugun lebih paham dari aku!”
“Please, Fik! Aku nggak paham Metode Penelitian!”
“Ok, di pustaka wilayah, besok, jam 1!” sambungku tanpa ada keraguan.
“Ok, my friend!”
****
Jumi masih menikmati pandangannya yang hampa akan tujuan. Sedari tadi ia hanya membelai-belai gelas capucino itu. Belum seteguk pun diminumnya.
“Jum, ikut nggak belajar sama…”
Sebuah petir besar menyambar. Mengejutkan semua pengunjung lesehan. Termasuk aku dan Jumi. Kami menyaksikan beberapa  pengunjung lesehan yang gaduh.
“Belajar? Belajar sama siapa?” Jumi melanjutkan kata-kataku yang belum selesai.
“Belajar…belajar…yach belajar!” jawabku gugup
“Tadi katanya belajar sama…”
“Maksud aku, kita belajar sama-sama!” Aku menjadi seorang pembohong ulung di keadaan ini. Berharap Jumi percaya dengan kata-kataku yang sedikit gugup. “Apalagi minggu depan kita semester,  nggak apa-apalah sesekali kita belajar bareng!” sambungku.
Jumi menganggukkan kepalanya. Sedikit keberuntungan berpihak padaku. Jumi percaya. Untungnya, ia tidak meminta waktu belajarnya esok.
****
Esok hari. Dia sudah menungguku. Dari balik kaca bening, jelas aku melihatnya mengutak-atik sebuah laptop. Rasa bersalah itu mulai bergejolak kembali. Apakah aku sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang? Aku yang menepuk air. Sayangnya, yang basah bukan mukaku, tapi muka Jumi. Apa yang harus aku dahulukan? Perasaan aku sendiri atau perasaan sang teman. Langkah ini begitu berat. Semakin berat ketika aku semakin berada dekat dengannya.
“Hmm” Gugun melihat ke arahku. “Sibuk nich!” aku menyapanya dengan sedikit gurauan. Berusaha mengurangi rasa tegang ketika melihatnya.
Senyumnya melebar. Jujur aku katakan, enam bulan aku mengenalnya, belum pernah ia tersenyum seperti ini. Senyum yang merekah, polos, dan senyum sebuah kejujuran dengan mata yang bercahaya menatapku. Apakah ini senyum untukku, Gun?. Untukku? Jangan mimpi, Fika! Aku tidak seharusnya melihat senyum indahnya di pagi ini.
“Tukang jaga pintu, yach?”
Sentak aku terkejut mendengarnya. Berarti dari tadi ia sudah melihat aku yang mematung di pintu masuk pustaka wilayah. Wajahku memerah. Dadaku berdebar. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku. Harapanku dia tidak ingin tahu apa yang aku rasakan saat ini.
Ada perasaan berbeda ketika aku berada dekat dengannya. Aku tahu, mata kecilmu selalu memandangku, Gun. Aku merasakannya ketika kita sedang belajar, ketika kita sedang berdiskusi, atau ketika kita berdua bercanda. Mungkin dirimu tak tahu tentang itu. Gugun ingat! sebuah kalimat—karena aku menyukaimu, Fik!—keluar dari mulutmu, Gun. Kini sedang menjadi hantu dalam setiap waktu dan nafasku. Walau ketika itu kita hanya bercanda. Aku senang mendengarnya. Senang sekali!
“Hei…!” Gugun mengejutkanku. “Melamun! Mikir apa?”
“kg…kg…nggak. Nggak mikir apa-apa. Benar, aku nggak mikir apa-apa!” aku meyakinkan Gugun. Berusaha mengembalikan konsentrasi pada pelajaran yang akan kami bahas. Keringatku masih bercucuran. Bahkan keluar lebih banyak. Penyejuk ruangan tak mampu menahan keringatku.  Sekuat tenaga aku berusaha fokus. Fokus Fika! Fokus! Jeritku dalam hati.
Dan untuk pertama kalinya pandangan kami berpapasan. Bertemu pada satu titik yang sangat aku harapkan.
“Gun! Lagi ada masalah yach?”
“Nggak! Kelihatannya aku ada masalah?”
Aku menganggukkan kepala. “Jangan bohong!” jawabku
Aku tahu ini salah. Pesan yang dipercayakan Jumi, telah aku salah gunakan untuk kepentingan diriku sendiri. Menggali perasaan seseorang yang kuharapkan kehadirannya dengan menggunakan wayang. Sang wayang bukanlah siapa-siapa, melainkan temanku sendiri. Lalu, aku sebagai dalang akan menutup tirai setelah pentas berakhir. Tapi, aku ingin yang terbaik.
Gugun mengembalikan pandangan pada sebuah buku yang berada di tangannya.
“Fik!”  Aku mendengar ia memanggilku. Mencoba berfikir positif, dia akan bertanya tentang pelajaran. Tidak lebih dari itu.
Gugun melanjutkan perkataannya yang jauh dari apa yang aku harapkan, Aku terpaksa menegakkan wajah untuk melihatnya. “Sebagai laki-laki, ketika ada seorang wanita yang mengungkapkan perasaannya pada ku, bukan main rasa senang yang aku rasakan. Nggak terlalu muluk, Fik. Tapi sayang, pe-rasaanku tidak bisa berkata ya, untuk itu.”
“Untuk itu apa?” aku pura-pura tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Gugun. Jauh di dalam hatiku bertabur rasa senang karena aku telah mendapatkan jawaban Gugun yang paling dinantikan Jumi. Tapi, aku tidak boleh mengorbankan perasaan siapapun. Walau pada ujungnya, perasaanku sendiri yang akan sakit.
“Sudah sejauh mana Fika tau tentang cerita ini?” aku melihat ke arah Gugun. Rupanya dia tahu apa yang ada di pikiranku saat ini. Kali ini cara berbohong apa lagi yang harus aku lakukan.
“a…a…ku…” penyakit gugupku sering muncul jika situasinya seperti ini.
“Satu hal yang ingin ku katakanJumi wanita yang hebat” sambungnya tanpa menunggu jawabanku. Gugun membalikkan halaman bukunya. Aku tatap wajahnya. Berpikir kalau ia akan menerima Jumi. Jumi memang wanita yang hebat, tidak seperti diriku yang terlena oleh kekuranganku sendiri.
Lalu, Gugun kembali menatapku dalam. Tatapan yang ingin menemukan sesuatu dalam diriku. Menarik semua perhatianku dengan kata-kata yang membelaiku hingga lelap dalam mimpi indah.
“Aku berada di sisi Jumi, tapi aku ingin fika yang berada di sisiku.”
****
Pukul Sembilan malam. Aku membuka laptop.
Malam ini, 14 Januari 2010. Aku sering dihadapkan pada dua pilihan. Tapi, ini lebih sulit dari apa yang pernah aku pilih sebelumnya. Maafkan aku bila telah menjadi orang di belakang layar selama ini. Bagaimana ingin taunya dirimu tentang Gugun, lebih kuat rasa ingin tahuku, Jum. Ketika kau merindukannya Jum, aku lebih merindukannya. Ketika kau bercerita padaku tentang rasa cintamu dengan dirinya, aku merasa sakit, Jum. Kusembunyikan rasa ini karena aku tahu, Jumi lebih dulu mengeja sunyi. Percayalah! Jumi tak  akan terluka.